Artikel ini telah dibaca 10841 kali. Terima kasih.
scene 1
“Oo… ini bukan dari kita… ini dari supplier…”
“Coba tanya dulu ke receiving. Dicek gak?”
“Waktu trial judgementnya gimana? Ada approvalnya gak? Siapa yang ngeprove?”
“Tanya qa ama p/e lah, jangan tanya produksi dong…”
scene 2
“sumimasen… sumimasen… daijoubu desuka?” (mohon maaf ya… kamu gak apa-2?)
“daijoubu desu…” (gak apa-2)
“aaa yokatta… honto ni sumimasen…” (syukurlah kl begitu… saya betul-2 minta maaf)
“ki ni shinaide kudasai… boku daijoubu desukara…” (gak usah dipikirin. Saya ok kok)
…
Kedua percakapan diatas bukan boongan. Itu riil. Yg pertama kerap terjadi di indonesia, dan yg kedua di jepang. Berlawanan 180 derajat celsius.
Di kita, teramat sulit untuk mengakui bahwa itu “salah saya”, “tanggung jawab saya” dan sejenisnya. Kita kadang muter-2 nyari alasan yg menurut kita masuk akal. Kalau sudah kejepit atau kepepet, akhirnya bo’ong atau memberikan informasi yg salah demi menyalamatkan diri dari hujatan atau cibiran orang lain. Ada perasaan takut yg teramat sangat. Khawatir nilai evaluasinya minus, khawatir tidak bisa dipromosi, khawatir pamornya drop dan 1001 kekhawatiran yg sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan. Kondisi saat ini di kita adalah kalo bisa ngeles atau bisa dilimpahkan ke orang lain why not. Budaya ngeles ini sudah mendarah daging.
Berbeda dengan di jepang. Umumnya mereka pada berebut bahwa itu “salah saya”, “tanggung jawab saya” dsj. Betulan. Dialog di atas itu contoh yg terjadi di jalanan saat saya sisipan jalan terus saya nyenggol orang jepang. Jelas-2 yg salah adalah saya, tapi yg minta maaf duluan malah orang jepang itu. Udah gitu minta maafnya maksa lagi. Seperti khawatir kl saya tidak ikhlas memaafkannya. Betul-2 gemblung.
Di jepang, pada tataran yg lebih elit, di perusahaan atau pemerintahan kita sering menyaksikan di tv-2 atau media-2 informasi lainnya pimpinan tertinggi pada perusahaan yg telah melakukan kesalahan karena produknya NG shg mengakibatkan korban (sakit perut misalnya) menundukkan kepalanya cukup lama meminta maaf kepada masyarakat. Atau seorang pejabat pemerintah langsung resign ketika terbukti melakukan kesalahan/pelanggaran. Bila kasusnya berat biasanya langsung hara kiri (bunuh diri) karena tidak mau menanggung malu. Kita tidak perlu sampai hara kiri segala, cukup minta maaf lalu memberikan kompensasi dan berjanji tidak akan melakukan hal yang sama. Jujur saja sudah lebih dari cukup. Tidak perlu n g e l e s segala.
(Cibitung, November 12, 2008)
Artikel ini telah dibaca 10841 kali. Terima kasih.