Artikel ini telah dibaca 4319 kali. Terima kasih.
Ini cerita tentang mudik tahun 2011 yang (bukan 2014!) diluar prediksi menyimpang dari planing yg sudah saya buat 2 bulan sebelumnya. Empat puluh tiga sanak sodara yg ingin saya temui ndilalahmalah akhirnya lebaranan di tempat lain krn harus nungguin nenek yg sedang sakit. No ticket to re-route, no advantage for canceling the trip and no plan b… no way out…, so the plan must be executed as is it…
Biasanya menjelang buka, saya diundang dari satu rumah ke rumah yg lain. Tapi karena semua keluarga inti tdk ada di rumah, terpaksa harus cari tempat ngabuburituntuk anak-2. Dan salah satu tempat yg disukai kita adalah toko buku. Setiap hari menjelang buka main ke situ terus. Begitu masuk toko, anak-2
saya langsung pada ngedeprok di masing-2 tempat kesukaannya. Maunya saya pun langsung ngedeprok seperti anak-2… cuman kok gimana gitu… apa boleh buat, as usual standing reading…
scanning the book one by one… sampai akhirnya saya nemu buku yg judul dicovernya sangat provokatif (untuk orang-2 tertentu yg memiliki minat saja). Penasaran… scanning reading has begun… ealah… ternyata buku itu cuman kumpulan 40 artikel penulis di sebuah majalah mingguan. Judul buku itu merupakan judul artikel yg ke 19 (ada di halaman 90-93). Bagian ini saja yg saya baca sampai selesai. Karena cuman ingin tahu aja apa yg dimaksud si penulis “profesional” dan “budak” bedanya dimana sih? Sekedar ingin menciri-cirikan, apakah saya ini seorang yg profesional atau sekedar budak…? Hii, selem… he…he…he…
di baris awal artikel tsb tertulis, “Behind a big business, there is always a big crime…”
ingat kasus enron (antara akhir 2001 ~ awal 2002)? Perusahaan energi papan atas amerika yg akhirnya mengajukan bangkrut lalu mem-phk-kan 5000 karyawannya (silahkan googling utk cerita detilnya). Karena kasus enron inilah sekarang kita mengenal istilah white collar crime… kejahatan yg dilakukan oleh orang-2 pintar dan bermartabat (menduduki posisi-2 penting dlm perusahaan dan pemerintahaan).
Atas kasus enron ini, Howard Gardner, salah seorang guru besar psikologi Harvard Graduate School of Education memberikan pendapatnya tentang ethical-mind(pikiran etis) yg harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap orang yg hidup bersosial (perusahaan, pemerintahan dll).
Ethical-mind yg sedang kita miliki saat ini dapat diuji dengan menanyakan kepada diri kita sendiri lalu menjawabnya, “apakah saya juga menginginkan bila karakter, kepribadian, sifat, tingkah laku yg saya punyai saat ini dimiliki oleh bawahan-2 saya atau orang lain?” manakala jawabannya adalah “tidak ingin” maka kita harus merubah dan menyusun ulang semua itu agar menjadi “diinginkan” oleh semua orang (bawahan-2 ktia secara khusus or orang yg terdekat dengan kita).
Secara teori mudah, namun secara praktek dilapangan sangatlah sulit. Karena didalam hidup bermasyarakat (di perusahaan, pemerintahan or di mana saja), kita akan banyak menjumpai 3 hal yg kadang sulit untuk kita hindari. Yaitu, opportunity(kesempatan, there is a will, there is a way), pressure (tekanan dari yg memiliki kekuasaan) dan rationalization (meng-gathuk-gathuk-an supaya lojik dan masuk akal dan akhirnya dianggap halal. *smile*). Tigal hal ini, yg menurut teori fraud menjadi penyebab moral hazardnya para karyawan secara total (mulai dari graderendah hingga top management) di perusahaan/pemerintahan. Tiga hal ini lah yg terjadi pada kasus enron, yg melibatkan top management perusahaan dan auditor hingga wakil presiden berkuasa saat itu.
Gardner, lebih lanjut memberikan gaidansnya untuk para pekerja profesional masa depan agar lebih mengedepankan keprofesionalitasan kerja yg bermoral (memiliki keyakinan yg teguh dalam mempertahankan nilai-2 akhlaq yg positif) secara total dan menyeluruh dengan segala resiko yg akan dihadapinya. Dan salah satu arahan tegasnya adalah, “Jika tidak siap mengundurkan diri ataupun dipecat demi sesuatu (nilai-nilai) yang Anda yakini (kebenarannya), maka Anda bukanlah seorang pekerja, apalagi seorang profesional. Anda hanyalah seorang budak belian.”
Arahan gardner ini adalah sebuah penguatan untuk kita-2 yg berada di dalam sebuah organisasi (perusahaan, pemerintahan dsj) terhadap 3 faktor yg mempengaruhi moral hazard di atas. Di mana setiap kita dituntut harus selektif dan mencerna dengan baik setiap instruksi yg kita terima dari orang lain (atasan, bawahan, lokal, eskpatriat dll). Karena belum tentu or tidak semua instruksi tersebut benar. Karena dalam sebuah organisasi, tidak menutup kemungkinan (atau kerap terjadi di oragnisasi-2 indonesia) adanya instruksi-2 yg sifatnya politis or tricky. Bila itu tidak kita cermati dengan seksama, dapat merugikan diri yg menerima instruksi tsb atau pun orang lain (masyarakat luas). Namun, untuk bisa mencerna/menganalisa dengan baik semua instruksi-2 yg kita terima dari oran lain, diperlukan kemampuan/kapasitas dan wawasan yg mencukupi. Dengan adanya itu semua, kita akan menjadi semakin yakin terhadap nilai-2 yg harus kita junjung di dalam semua organisasi di mana kita berada tanpa harus ada kekhawatiran-2 atas kemungkinan terhambatnya kepentingan-2 pribadi kita (karir dll).
Artikel ini telah dibaca 4319 kali. Terima kasih.