Artikel ini telah dibaca 492 kali. Terima kasih.

Sejumlah pengamat menyebut jerat hukum terhadap penjemput paksa jenazah yang ialah pasien dalam pengawasan (PDP) terkait Covid-19 berlebihan. Pemerintah pun dianggap punya andil karena lamban menetapkan status pasien.

“Tersangka karena penjemputan? Ini berlebihan banget kepolisian,” kata Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/6).

Ia menyebut penggunaan Pasal 212 sampai dengan 218 KUHP tentang perlawanan terhadap pejabat yang sedang melakukan tugasnya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk menjerat para tersangka itu tidak tepat.

“R. Soesilo memberikan catatan Pasal 212 KUHP ini sebagai ketentuan yang diterapkan dalam kondisi seseorang yang melawan petugas kepolisian yang akan menangkap dirinya,” kata Isnur.

Menurutnya, penggunaan Pasal 212 KUHP itu juga sempat diterapkan untuk menjerat para pelanggar social distancing. Padahal, ada kelemahan dalam penerapannya. Walhasil, pihaknya menilai pasal tersebut berpotensi untuk menjadi alat penangkapan sewenang-wenang.

“YLBHI juga khawatir pengenaan Pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization,” lanjut dia.

Menurut dia, seharusnya pihak kepolisian dan pemerintah lebih mengedepankan pendekatan secara persuasif dan kemanusiaan di tengah situasi serba sulit akibat Covid-19 serta kondisi tersangka, yang juga merupakan kerabat pasien yang meninggal itu, yang tengah dirundung duka.

Sementara, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal melawan petugas bisa memang bisa digunakan kepada yang melawan petugas. Namun, ia menyebut kasus ini tak memperhatikan fakta sosiologis di masyarakat yang belum mendapat kepastian status kerabatnya.

“Pasal 212 dan 214 itu generik fakta sosial apa saja yang ada unsur melawan petugas yang sedang melaksanakan tugas bisa dijerat,” kata dia, dalam keterangan tertulisnya.

“Unsur fakta sosiologisnya yang tidak memenuhi. Jadi kelemahannya pada sistem monitoring tes Covid-nya,” jelas Fickar.

Senada, Isnur menilai pemerintah tidak memberi kejelasan status Covid-19 terkait pasien yang meninggal itu.

“Ini kan karena ketidakjelasan dan mencla-menclenya juga pemerintah dalam menangani,” lanjut dia.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan kasus tersebut tidak perlu sampai dibawa hingga ke persidangan. Dia mengusulkan agar kepolisian dapat mengambil peran sebagai pengayom masyarakat dan menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan.

“Para tersangka setelah ditahan lalu dibina agar menyadari kesalahannya dan kemudian diminta membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya,” kata dia.

Sebelumnya, warga di sejumlah wilayah, seperti Makassar, Surabaya, hingga Bekasi, melakukan pengambilan paksa jenazah kerabatnya yang statusnya belum dipastikan terinfeksi Covid-19.

Polisi kemudian melakukan penindakan. Seperti Polda Sulsel, yang menetapkan 12 orang sebagai tersangka pelanggaran pasal 214 KUHP juncto pasal 335 KUHP juncto pasal 336 KUHP juncto pasal 93 KUHP UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Artikel Asli

Artikel ini telah dibaca 492 kali. Terima kasih.

Leave a Reply